MRT Jakarta Ditargetkan Angkut 200 Ribu Penumpang Per Hari
Kelas peningkatan kapasitas bagi jurnalis di program “Fellowship Jurnalis MRT Jakarta” memasuki sesi yang keempat pada Rabu (25/10) kemarin. Hadir sebagai narasumber, Prasetyo Boeditjahjono, Staf Ahli Bidang Teknologi, Energi, dan Lingkungan Kementerian Perhubungan RI, yang juga tercatat sebagai komisaris PT MRT Jakarta. Sekitar 20 jurnalis dari berbagai media massa mengikuti kelas tersebut.
Membuka sesi, Prasetyo memaparkan dasar hukum yang melandasi keberadaan transportasi umum massal berbasis rel. “Ada UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, lalu PP Nomor 6 Tahun 2017 dan revisinya, yakni PP Nomor 61 Tahun 2017. Seluruhnya untuk mewujudkan multioperator dari jasa angkutan kereta api.” Menurutnya, Pemerintah Pusat sudah sangat mendukung pembangunan infrastruktur transportasi berbasis rel di Indonesia dan membuka jalan bagi operator-operator jasa angkutan ini untuk beroperasi dengan aman, nyaman, dan menguntungkan.
“Peran PT MRT Jakarta sebagai penyelenggara sarana dan prasarana, serta operasi MRT diatur melalui Peraturan Gubernur Nomor 53 Tahun 2017,” jelas mantan Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan ini. Dirinya lebih lanjut memaparkan secara singkat proyek MRT Jakarta fase 1 dan fase 2 yang dibangun dengan biaya tinggi. “Pembangunan infrastruktur transportasi berbasir rel memang mahal. Oleh karena itu 49 persen pinjaman dari JICA menjadi tanggungan Pemerintah Pusat,” tandasnya. Dengan target kapasitas angkut >200 ribu penumpang per hari, sejumlah strategi dan kebijakan pun dikatakan Prasetyo telah disiapkan. Di antaranya lewat tarif murah (subsidi/PSO), kemudahan aksesibilitas dan konektivitas, peraturan pembatasan kendaraan bermotor, lintasan berbayar (ERP), pengaturan tarif parkir, serta lewat fasilitas parkir di sekitar stasiun (park & ride). “Jangan sampai barang mahal ini kukut. Orang tetap pakai kendaraan pribadi.”
Untuk menggerakkan para pengguna kendaraan pribadi beralih ke transportasi umum (dalam hal ini MRT Jakarta), lanjut Prasetyo, sejumlah prinsip dan kondisi ideal harus dapat diwujudkan. “Prinsip transportasi massal kereta api itu boleh lama tapi ada kepastian waktu. Misalnya untuk line ke bandara, waktu tempuh idealnya tidak lebih dari satu jam,” tutur pria yang lengser dari Kementerian Perhubungan pada Juli 2017 silam. “Untuk moda transportasi umum di perkotaan, unsur kepastian waktu harus dapat dijamin.”
Perencanaan Transit Oriented Development (TOD) yang akan mensinergikan sejumlah operator pun menjadi salah satu hal yang mendukung aspek kenyamanan pengguna dalam bertransportasi umum. “Kan enak kalau keluar stasiun MRT lalu bisa lewat mall. Jalan jadi enggak terasa capek,” ujarnya. Ketika ditanya mengenai konflik yang mungkin muncul karena silang jalur antaroperator di sebuah kawasan TOD, Prasetyo dengan tegas menjawab bahwa harus ada operator yang dihilangkan. “Prinsipnya harus saling dukung dan untung, jangan rebutan. Penumpang pun harus oke.” Menurutnya, kunci keberhasilan TOD adalah regulasi yang tegas, yang dihasilkan dari mendengarkan semua pihak.”Mungkin tidak bisa memuaskan semua, tapi paling tidak mayoritas terakomodir.”
Salah satu peserta sesi bertanya mengenai strategi tarif murah MRT Jakarta dan cara Pemprov DKI Jakarta membuat bisnis MRT Jakarta berkelanjutan. Prasetyo menandaskan bahwa sementara ini operasional MRT Jakarta akan didukung subsidi. “Murah itu relatif, karena targetnya adalah terjangkau. Yang penting target penumpang tercapai dulu. Jangan sampai sdh dibangun tapi tidak dimanfaatkan,” pungkasnya. [CP]